Meski telah lama meninggalkan jabatan sebagai Wakil Presiden, pemikiran Jusuf Kalla tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan nasional, termasuk soal kebijakan ekonomi global. Pria yang pernah menjabat sebagai Wapres ke-10 dan ke-12 RI ini kembali bersuara menanggapi isu panas soal tarif timbal balik dari Amerika Serikat yang belakangan membuat resah sejumlah pelaku usaha.
Dalam keterangannya di kediamannya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (5/4), Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk tidak panik menghadapi kebijakan tarif 32 persen yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut lebih bersifat politis ketimbang ekonomi murni. “Jangan terlalu khawatir, seakan-akan mau kiamat dunia ini,” ujarnya santai namun tegas.
Pernyataan JK, begitu ia akrab disapa, muncul di tengah kekhawatiran sejumlah pengusaha yang melihat tarif baru dari AS berpotensi menghambat ekspor Indonesia. Namun dengan pengalaman panjangnya dalam dunia bisnis dan pemerintahan, JK memandang isu ini dengan kepala dingin dan penuh pertimbangan strategis.
Ia menilai bahwa tarif tersebut bukan diarahkan pada komoditas secara spesifik, melainkan dikenakan pada negara dalam konteks politik dagang yang tengah memanas di Amerika Serikat. “Ini lebih karena tekanan politik dalam negeri mereka. Kita jangan langsung terpancing,” ungkapnya.
Sikap tenang dan penuh logika yang ditunjukkan Jusuf Kalla menjadi bukti bahwa meski tak lagi aktif di kabinet, ia tetap menjadi rujukan penting dalam menyikapi isu-isu krusial. Pengalamannya sebagai pelaku usaha, tokoh politik, sekaligus diplomat membuat pandangannya selalu bernas dan kontekstual.
Di tengah dunia yang makin terhubung dan rentan terhadap kebijakan proteksionisme negara-negara besar, suara seperti Jusuf Kalla menjadi penyeimbang penting. Ia tidak serta-merta menolak kritik terhadap kebijakan luar negeri negara lain, namun mengajak masyarakat untuk melihat persoalan dari berbagai sisi.
Jusuf Kalla juga menekankan pentingnya memperkuat pasar dalam negeri dan diversifikasi tujuan ekspor agar Indonesia tak terlalu tergantung pada pasar tertentu, termasuk Amerika Serikat. Ia percaya, dengan langkah adaptif dan fokus pada kualitas produk, Indonesia bisa tetap bersaing di tengah dinamika global.
Pernyataannya itu pun langsung mendapat tanggapan positif dari sejumlah kalangan ekonomi. Banyak yang menilai bahwa pandangan JK merepresentasikan suara rasional dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Ia hadir sebagai penenang dalam gejolak, sesuatu yang kini semakin langka di panggung politik nasional.
Tak sedikit pengamat yang berharap Jusuf Kalla bisa kembali dilibatkan secara informal dalam pembentukan kebijakan strategis negara, khususnya di bidang ekonomi luar negeri. Kehadirannya sebagai tokoh senior yang disegani di dalam dan luar negeri masih dibutuhkan untuk menjembatani kepentingan nasional dengan dinamika global.
Jusuf Kalla memang dikenal sebagai tokoh yang selalu lugas dan langsung pada pokok permasalahan. Tidak heran jika dalam isu tarif Trump ini pun ia tidak memilih kata-kata yang membingungkan, melainkan justru menenangkan publik dengan gaya khasnya yang sederhana namun tajam.
Selain itu, JK mengingatkan bahwa Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan negara mana pun, termasuk AS. “Dalam hubungan dagang, ada pasang surut. Tapi diplomasi ekonomi harus jalan terus,” ujarnya. Kalimat itu menunjukkan bahwa bagi JK, menjaga keseimbangan adalah kunci menghadapi tekanan eksternal.
Lebih lanjut, ia juga menyarankan agar pemerintah fokus memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi dagang internasional. Bukan hanya dari sisi diplomasi, tapi juga lewat peningkatan kualitas produk dan efisiensi industri nasional.
Pemerintah, menurutnya, tidak boleh reaktif tapi harus strategis dalam menyikapi kebijakan proteksionis dari negara lain. “Kalau kita kuat di dalam, tekanan luar tidak akan mengguncang,” ujarnya, seakan ingin mengajak semua pihak kembali fokus pada penguatan ekonomi domestik.
Pemikiran JK yang bersifat pragmatis dan berdasar pengalaman lapangan dianggap mampu melengkapi pendekatan teknokratis yang saat ini mendominasi perumusan kebijakan. Ia tidak hanya berbicara dari balik meja, melainkan dari realitas yang ia pahami dengan baik sejak lama.
Meski kini lebih banyak berkegiatan sosial dan keagamaan, sorotan terhadap komentar-komentar JK menunjukkan bahwa publik masih menaruh kepercayaan besar padanya. Terutama saat negeri ini menghadapi isu-isu ekonomi strategis yang membutuhkan pandangan jernih dan realistis.
Dalam konteks ketegangan dagang global, Indonesia memang membutuhkan lebih banyak suara seperti Jusuf Kalla. Suara yang tak hanya menenangkan, tapi juga membimbing arah kebijakan nasional agar tidak larut dalam kepanikan atau tekanan sesaat.
Pernyataan JK dalam isu tarif Trump membuktikan bahwa negarawan sejati tetap relevan di tengah perubahan zaman. Meski sudah tidak menjabat, peran pemikirannya masih menyala dan terus menjadi cahaya bagi arah kebijakan negeri ini.
Dibuay oleh AI
loading...
Tidak ada komentar:
Write komentar