Sabtu, 28 Juni 2025

Trump, Minyak, dan Palestina dalam Bahaya

    07.10   No comments

Antrean panjang pengungsi Palestina yang berusaha kembali ke rumah-rumah mereka di Gaza Utara memperlihatkan betapa dalam luka akibat agresi Israel. Namun bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tragedi itu bukanlah masalah kemanusiaan, melainkan peluang bisnis. Dalam narasi penuh minyak, gas, dan ambisi supremasi industri, Trump menjadikan Palestina bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi yang menakutkan. Kekayaan alam di Gaza, terutama cadangan minyak dan gas lepas pantainya, menjadi sasaran utama dari strategi Trump untuk menjadikan Amerika kembali sebagai raksasa industri energi.

Trump tidak pernah menyembunyikan obsesinya terhadap energi fosil. Sejak pidato pelantikannya, ia menyatakan Amerika akan memanfaatkan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur. Namun ambisinya tidak berhenti di dalam negeri. Ia membuka wilayah Alaska untuk pengeboran dan bahkan ingin mengakuisisi Kanada agar minyak dari sana tidak terkena tarif impor. Ia juga sempat membidik Greenland milik Denmark demi akses terhadap sumber daya strategis, termasuk logam tanah jarang.

Di Timur Tengah, hasrat energi Trump menubruk langsung ke Palestina. Ia mendukung penuh tindakan Israel yang menghancurkan dua pertiga infrastruktur sipil Gaza dan membunuh hingga 10 persen populasinya, hanya demi satu tujuan: mengosongkan wilayah tersebut. Trump kini mendorong Mesir dan Yordania agar menerima hampir dua juta pengungsi Palestina, yang menurutnya merupakan solusi permanen atas “masalah Gaza”. Ia tidak berbicara tentang rekonstruksi, perdamaian, atau dua negara. Ia bicara soal pengosongan wilayah untuk akses minyak dan gas.

Cadangan energi di perairan Gaza bukan sekadar potensi, tapi realitas yang diperkirakan mencapai 122 triliun kaki kubik gas dan 1,7 miliar barel minyak, dengan nilai mencapai 522 miliar dolar AS. Inilah kekayaan yang selama puluhan tahun dilarang diakses oleh rakyat Palestina. Dalam skema Trump, akses ini akan dimiliki oleh konsorsium antara Israel, Amerika, dan negara-negara Arab kaya minyak yang sebelumnya dipaksa menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accord.

Trump berusaha melanjutkan strategi itu dengan lebih kasar. Ia bukan hanya ingin mengontrol sumber daya, tapi juga menghilangkan Palestina dari peta. Dukungan total terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan sampai pada titik mendukung peta baru yang tidak menyertakan Palestina sama sekali. Dalam bayangan mereka, wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania sepenuhnya menjadi wilayah Eretz-Israel versi Perjanjian Lama. Palestina, menurut mereka, sudah tidak relevan.

Namun perlawanan tidak mati. Dalam berbagai tayangan televisi internasional, terlihat warga Palestina kembali ke reruntuhan rumah mereka dengan semangat yang membara. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk bertahan sebagai bangsa. Mereka menolak diusir dan terus menyuarakan bahwa minyak dan gas Palestina tidak akan disentuh siapa pun sebelum tanah mereka dibebaskan. Ini bukan sekadar perlawanan bersenjata, tapi perlawanan hak atas sumber daya.

Kenyataan ini menciptakan dilema besar bagi Amerika. Dalam artikel Richard Wolff, ia menyebut bahwa semakin banyak warga dan elite AS mulai sadar bahwa hubungan erat dengan Israel justru menyeret Amerika ke jurang isolasi global. Dukungan senjata dan dana terhadap Israel membuat Amerika dianggap ikut terlibat dalam genosida. Dan ketika biaya sosial dan geopolitik mulai melampaui manfaat ekonomi, retaknya fondasi aliansi menjadi keniscayaan.

Trump sendiri tidak peduli terhadap semua itu. Ia melanjutkan kebijakan pemotongan dana sosial dalam negeri untuk membiayai potongan pajak bagi konglomerat dan memperluas investasi luar negeri. Ia mendorong Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak demi menurunkan harga global, sekaligus meminta mereka menanamkan investasi hingga triliunan dolar ke dalam perekonomian AS. Dengan itu, ia berharap menutup lubang fiskal dan menciptakan lapangan kerja—meski dengan harga kehancuran Timur Tengah.

Bagi rakyat Palestina, semua ini bukan lagi permainan politik tingkat tinggi. Ini adalah kenyataan pahit bahwa nasib mereka ditentukan oleh hasrat energi dan kekuasaan asing. Mereka melihat bahwa keinginan untuk menghapus Palestina dari peta lebih besar dari upaya perdamaian. Bukan hanya karena fanatisme Zionis, tapi karena adanya kepentingan ekonomi yang mendalam.

Di Tepi Barat, Israel membuka front baru dengan operasi militer besar di Jenin. Sementara di Gaza, perang belum benar-benar usai meski gencatan senjata diumumkan. Dukungan Trump terhadap Israel membuat semua mekanisme internasional lumpuh. Dewan Keamanan PBB tak mampu menekan Israel, dan negara-negara OIC terlihat tak berdaya, hanya mengutuk tanpa tindakan.

Dengan segala kekayaan energi yang mereka miliki, rakyat Palestina tetap hidup dalam gelap. Mereka tidak punya akses ke listrik, air bersih, atau bahan bakar, sementara cadangan kekayaan alam mereka diperebutkan oleh kekuatan besar. Ironi ini menunjukkan bahwa penjajahan modern bukan hanya soal tanah, tapi juga soal siapa yang berhak menguasai sumber daya.

Trump mungkin sedang membangun kembali Amerika dalam bayangannya sendiri—putih, kaya, dan eksploitatif—tetapi jejak kebijakannya meninggalkan luka dalam yang akan sulit disembuhkan. Dan ketika konflik ini terus bereskalasi, pertanyaannya bukan lagi apakah akan terjadi perang lebih luas, tetapi kapan. Palestina menjadi korban dari obsesi satu orang terhadap minyak dan supremasi.

Dunia sedang menyaksikan fase baru dari kolonialisme energi. Ketika ladang gas lebih penting dari nyawa manusia, maka batas antara kemajuan dan kebiadaban menjadi kabur. Dan ketika negara adidaya memilih diam atas genosida demi minyak, maka sejarah akan mencatat bukan hanya tragedi Palestina, tetapi juga kebangkrutan moral umat manusia.

Rakyat Palestina tidak pergi ke mana-mana. Mereka tetap di tanah mereka. Mereka tetap berdiri di atas puing-puing rumah, membawa pesan kepada dunia: bahwa minyak mereka bukan untuk dijual, tanah mereka bukan untuk dijajah, dan keberadaan mereka bukan untuk dihapus. Sementara dunia tidur, mereka tetap berjaga.

loading...

newsonline

About newsonline

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Previous
Next Post
Tidak ada komentar:
Write komentar

Sponsor

Get updates in your email box

Complete the form below, and we'll send you our recent update.

Deliver via FeedBurner