Advertise Here

Politik

Jumat, 19 September 2025

Perusahan Baru Bermunculan di Era Pasca Assad Suriah

    15.43   No comments
Suriah baru di era Presiden Ahmed Al Sharaa kini ditandai dengan berjamurnya perusahaan baru untuk investasi dan menjajal pasar Suriah.

Namun begitu, berbagai perusahaan baru tersebut diyakini adalah perpanjangan tangan investor dalam maupun luar negeri, baik pemain lama maupun baru.

Di antara pemain lama adalah perusahaan dari Rusia, Iran dan eks kroni Bashar Al Assad dan kini berkiprah kembali dengan nama baru atau menggunakan nama perusahaan kecil yang sudah ada sebelumnya.

Selain itu ada juga perusahaan dari eks wilayah pemerintahan penyelamat (SG) dari Idlib dan interim (SIG) di Azaz. Mereka bekerja sama dengan perusahaan Turki, Qatar, Kuwait dan kain sebagainya.

Ada juga perusahaan dari SDF Kurdi bekerja sama dengan pemodal dsri Kurdistan Irak dengan perusahaan baru mereka. Perusahaan dari Kurdistan Irak telah masuk di sektor taksi online. Sejumlah perusahaan Amerika dan Eropa juga masuk yang kemungkinan sahamnya milik Israel atau pengusaha Yahudi pro Israel.

Kabar terbaru dari Damaskus kembali memantik perdebatan panjang soal tata kelola sektor energi di Suriah. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa Kementerian Energi Suriah tengah melakukan pembicaraan dengan sebuah perusahaan bernama "Thaiba Khassah lil Mahruqat" atau "Thaiba untuk Bahan Bakar Swasta" guna mengambil alih pengelolaan perusahaan bahan bakar milik negara, SADCOP.

Rencana ini, menurut laporan awal, akan memberikan hak pengelolaan sekitar 40 stasiun bahan bakar kepada perusahaan Thaiba. Namun, langkah tersebut menimbulkan pertanyaan karena tidak ada indikasi bahwa pemerintah akan membuka kompetisi atau tender terbuka yang memungkinkan perusahaan lain ikut serta, termasuk yang dibekingi oleh pemodal Rusia, Iran dan eks rejim Assad di belakang layar.

Siapa sebenarnya perusahaan Thaiba yang tiba-tiba muncul dalam orbit kebijakan energi Damaskus ini? Pertanyaan itu tidak hanya mencuat di media lokal, tetapi juga menjadi sorotan pengamat internasional yang menilai langkah ini berpotensi membuat pemain lama eks rejim tak kebagian.

Penelusuran jejak perusahaan Thaiba mengarah pada pemodal dari eks wilayah SG. Menurut laporan yang diterbitkan pada 3 April 2021 oleh laman "Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Orang Suriah", perusahaan Thaiba disebut sebagai salah satu pemain dominan dalam tender bahan bakar di Idlib.

Dalam laporan itu dijelaskan bahwa Thaiba berhasil menguasai sebagian besar tender, terutama dalam kontrak bahan bakar untuk pemanas. Perusahaan ini bahkan mampu membagikan dividen sebesar 8 persen kepada para pemegang saham pada Maret 2021, atau sekitar 12 dolar per lembar saham, sesuatu yang jarang terjadi di tengah krisis ekonomi Suriah.

Namun, di balik capaian itu tersimpan hubungan erat antara Thaiba dan struktur ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintahan SG yang kini sudah bubar dan kini menjadi penguasa di Damaskus. Disebutkan bahwa Thaiba merupakan proyek yang diluncurkan oleh pengusaha Idlib untuk memasok kebutuhan di wilayah yang dulu dibkokade Assad, melalui lembaga bernama "Sanad al-Barakah Investment Fund" pada akhir 2019.

Lebih jauh, Thaiba memiliki hubungan strategis dengan perusahaan "Watad Petroleum", sebuah entitas yang dikenal luas sebagai pintu masuk bahan bakar dari Turki ke wilayah Idlib. Kolaborasi ini memberi keuntungan besar bagi kedua perusahaan dalam mendominasi pasokan energi, di tengah ketiadaan investor yang masuk.

Sumber lain mengungkapkan bahwa Thaiba tidak berdiri sendiri. Ia berjalan seiring dengan perusahaan investasi bernama "Nama’", yang juga didirikan oleh lembaga keuangan SG. Kombinasi keduanya menjadikan ekonomi Idlib mandiri dari ekonomi rejim Assad saat itu.

Situasi ini semakin kompleks ketika laporan dari situs "Sada" pada 16 September 2025 mengungkapkan bahwa Watad tetap menjadi mitra utama Thaiba hingga hari ini. Beberapa pengamat menilai jaringan perusahaan inilah yang menjadi penopang awal ekonomi Suriah pasca hengkangnya Assad membawa serta jutaan dolar dari kas negara. Saat itu embargi ekonomi Suriah belum dicabut.

Setelah AS mulai mengendurkan embargo ekonomi ke Suriah meski tak menghapus total, pemodal Rusia, eks pendukug Assad, Iran, Kurdi dan pemain lainnya yang tampil dengan perusahaan baru mulai tergiur untuk mendapat jatah.

Namun, Suriah belum sepenuhnya pulih dari trauma masa lalu sehingga kepentingan rejim lama masih sering kelihatan dan ketahuan dari pengurusan administrasi tender.

Investigasi lain yang dilakukan oleh "Akhbar al-Aan" pada Januari 2023 menunjukkan pola serupa. Disebutkan bahwa saat tidak ada pemodalbyang berani masuk ke Idlib, Watad hadir memberi solusi di tengah keterbatasan.

Karena menyangkut hajat hidup orang banyak, perusahaan itu diberi perlindungan penuh dan dukungan logistik meski sering menjadi target pasukan Rusia, Iran dan rejim.

Seiring dengan banyaknya permintaan, perusahaan mengumumkan peluncuran enam perusahaan diversifikasi baru, termasuk Thaiba, al-Ittihad, al-Alamiya, al-Salam, al-Rahma, dan al-Arabiya.

Setelah Assad lengser, Watad juga membubarkan diri dan bisnisnya kini beralih dari Idlib ke Damaskus dengan perusahaan baru dan cakupan yang lebih luas.

Saat itu, banyak yang mengira Suriah bakal kolaps dan kocar-kacir karena semua kroni Assad juga kabur. Namun Thaiba hadir mengisi kekosongan itu. Kini Thaiba berubah dari cibiran dan cemoohan menjadi tulang punggung ekonomi Suriah.

Pemain lama eks Assad yang tidak terkena sanksi sosial paska amnesti mulai meminta jatah tender dengan transparan melalui berbagai media kritis di Lebanon atau dalam negeri.

Tuduhanpun dilayangkan mengenai dugaan monopoli, sesuatu yang tidak bisa dihindarkan usai hampir semua perusahaan pro Assad lumpuh atau melarikan diri.

Ada juga tuduhan tidak adanya proses tender terbuka memperkuat anggapan bahwa keputusan ini lebih didorong oleh pertimbangan politik dan kompromi kepentingan ketimbang mekanisme pasar yang sehat. Anehnya tuduhan itu juga datang dari wilayah SDF Kurdi yang memang belum integrasi penuh dengan wilayah pemerintah.

Senin, 30 Juni 2025

Manuver Geopolitik SDF Suriah di Masa Transisi Picu Perdebatan

    18.09   No comments
Pasukan Demokratik Suriah (SDF) kembali menjadi sorotan utama di kancah geopolitik Timur Tengah, terutama setelah penolakan mereka secara kolektif untuk berpartisipasi dalam berbagai agenda hegemon di kawasan.

Langkah strategis ini bukan sekadar penolakan biasa, melainkan sebuah pesan tersirat yang kuat kepada Amerika Serikat, mitra utama mereka selama ini. Isyarat ini jelas: jika Washington tidak menunjukkan perhatian serius terhadap isu-isu yang mereka anggap krusial bagi kepentingan SDF, maka agenda geopolitik yang digariskan akan terhambat.

Penolakan SDF ini terjadi di tengah gejolak perbincangan mengenai pengaturan lapangan baru dan upaya intens untuk mendefinisikan ulang peta aliansi di Suriah yang terus bergejolak. Setiap langkah yang diambil oleh para aktor kunci di wilayah ini memiliki implikasi yang luas, mengubah dinamika konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Analisis mendalam terhadap situasi ini mengungkapkan bahwa penolakan SDF dapat diinterpretasikan sebagai taktik tekanan yang cerdik, bertujuan untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan dukungan yang selama ini mereka terima dari Amerika Serikat.

Dalam permainan catur politik yang kompleks ini, setiap gerakan diperhitungkan dengan cermat, dengan tujuan memaksimalkan posisi tawar.

Mengejutkan, di tengah ketegangan ini, muncul laporan mengenai pembentukan aliansi baru di wilayah timur laut Suriah. Aliansi ini, yang melibatkan SDF dan sisa-sisa rezim Bashar al-Assad, didukung oleh kekuatan eksternal seperti Iran dan, dalam beberapa kasus, bahkan Israel. 

Sebuah ironi yang menarik mengingat sejarah permusuhan antara beberapa entitas ini.

Dalam konteks aliansi yang tidak biasa ini, ISIS, kelompok yang seharusnya menjadi musuh bersama, justru dianggap sebagai alat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan aliansi baru ini. Ini menunjukkan betapa pragmatisnya politik di wilayah tersebut, di mana musuh kemarin bisa menjadi sekutu hari ini demi kepentingan strategis.

Di sisi lain, perwakilan khusus Amerika Serikat untuk Suriah telah secara terbuka membahas kemungkinan penggabungan SDF ke dalam struktur pemerintahan Suriah yang baru. Wacana ini menimbulkan pertanyaan besar, khususnya oleh sebagian elemen, mengenai masa depan SDF sebagai entitas independen dan implikasi bagi stabilitas regional.

Sejalan dengan wacana tersebut, Amerika Serikat telah menunjukkan tanda-tanda penarikan dukungan, dengan menarik pasukannya dan mengosongkan beberapa pangkalan di wilayah yang dikuasai oleh SDF. Langkah ini secara jelas mengindikasikan pergeseran dalam strategi Washington dan potensi implikasi serius bagi SDF.

Lebih lanjut, Amerika Serikat juga telah mengklasifikasikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan semua pihak yang terkait dengannya di Suriah sebagai kelompok teroris. Keputusan ini menambah lapisan kompleksitas pada hubungan antara AS dan SDF, mengingat dugaan hubungan antara SDF dan PKK.

Pembicaraan juga telah meluas hingga menyentuh perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Donald Trump mengenai sanksi terhadap Suriah.

Keputusan-keputusan politik semacam ini, meskipun terkadang terlihat terpisah, sebenarnya saling terkait dan membentuk lanskap politik yang rumit di Suriah.

Pasca pembebasan Suriah dari cengkeraman rezim Assad dan pembentukan negara Suriah baru, terdapat dua jalur utama yang dibahas oleh para analis. Jalur strategis melihat Amerika Serikat membangun aliansi di wilayah tersebut dengan Suriah sebagai bagian integralnya, menciptakan stabilitas jangka panjang.

Namun, ada juga jalur taktis yang lebih pragmatis, di mana kantong-kantong ketidakstabilan di Suriah dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi politik yang lebih luas.

Pendekatan ini mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, namun berisiko memicu konflik lebih lanjut.

Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, Rusia, salah satu pemain kunci di Suriah, juga mencoba memanfaatkan situasi ini.

Setelah mengalami kemunduran di negara tersebut, Moskow berharap dapat menciptakan ketidakstabilan sebagai cara untuk menegaskan kembali pengaruhnya.

Salah satu yang kelihatan belakangan adalah penyerahan penguasaan Bandara Qamishli di Hasakah ke tangan SDF bukan ke pemerintah Damaskus. Bandara ini sebelumnya dikuasai rejim Bashat Al Assad dan tentara Rusia.

Iran, kekuatan regional lainnya, juga memiliki agendanya sendiri. Teheran berharap dapat memanfaatkan SDF dan wilayah yang dikuasainya sebagai pintu gerbang untuk memasukkan kembali milisinya dan membentuk aliansi milisi baru yang akan memperkuat kehadirannya di Suriah.

Namun, serangan baru-baru ini yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap Iran telah melemahkan kemampuan Teheran untuk memindahkan konfliknya ke luar wilayahnya sendiri. Ini mungkin menjadi faktor penting yang mengubah perhitungan strategis Iran di Suriah.

Masa depan SDF, sebagai entitas militer dan politik, akan sangat bergantung pada strategi yang akan diadopsi oleh Amerika Serikat di wilayah tersebut. Tanpa dukungan Washington yang berkelanjutan, kelangsungan hidup SDF akan berada dalam posisi yang sangat rentan.

Jika SDF pada akhirnya menolak untuk mematuhi kesepakatan yang dicapai dengan Damaskus, maka masalah ini kemungkinan besar akan diselesaikan melalui jalur militer. Dalam skenario ini, Suriah, berpotensi bekerja sama dengan Turki, dapat mengambil tindakan untuk menstabilkan wilayah tersebut.

Mengenai "sisa-sisa rezim yang bergabung dengan SDF," ini merujuk pada elemen-elemen dari angkatan bersenjata Suriah dan lembaga-lembaga keamanan yang dulunya setia kepada Bashar al-Assad, namun karena berbagai alasan – seperti pembelotan, kebutuhan akan dukungan militer, atau kesepakatan regional – kini beroperasi di bawah payung atau bekerja sama dengan Pasukan Demokratik Suriah.

Ini bisa mencakup unit-unit militer lokal, milisi pro-pemerintah tertentu, atau individu-individu yang sebelumnya bersekutu dengan Damaskus namun kini mencari perlindungan atau peluang baru di bawah kendali SDF.

Kondisi ini seringkali terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis atau strategis berdekatan, atau di mana ada kepentingan bersama untuk mengusir kelompok ekstremis seperti ISIS atau menjaga stabilitas dari ancaman pihak ketiga. Identitas spesifik dari "sisa-sisa rezim" ini seringkali kabur dan dinamis, mencerminkan aliansi yang cair di medan perang Suriah, di mana loyalitas bisa bergeser tergantung pada situasi dan keuntungan.

Kerja sama ini, meskipun mungkin terlihat kontradiktif mengingat asal-usul SDF sebagai oposisi terhadap rezim Assad, adalah cerminan dari realitas politik yang pragmatis di Suriah. Prioritas utama seringkali adalah menjaga stabilitas lokal dan menghadapi ancaman bersama, bahkan jika itu berarti bersekutu dengan mantan musuh.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa konflik Suriah jauh lebih kompleks daripada sekadar garis depan antara "rezim" dan "oposisi," melainkan melibatkan jaringan aliansi dan kepentingan yang saling terkait, yang terus berubah seiring dengan perkembangan situasi di lapangan.

Sabtu, 28 Juni 2025

Trump, Minyak, dan Palestina dalam Bahaya

    07.10   No comments
Antrean panjang pengungsi Palestina yang berusaha kembali ke rumah-rumah mereka di Gaza Utara memperlihatkan betapa dalam luka akibat agresi Israel. Namun bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tragedi itu bukanlah masalah kemanusiaan, melainkan peluang bisnis. Dalam narasi penuh minyak, gas, dan ambisi supremasi industri, Trump menjadikan Palestina bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi yang menakutkan. Kekayaan alam di Gaza, terutama cadangan minyak dan gas lepas pantainya, menjadi sasaran utama dari strategi Trump untuk menjadikan Amerika kembali sebagai raksasa industri energi.

Trump tidak pernah menyembunyikan obsesinya terhadap energi fosil. Sejak pidato pelantikannya, ia menyatakan Amerika akan memanfaatkan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur. Namun ambisinya tidak berhenti di dalam negeri. Ia membuka wilayah Alaska untuk pengeboran dan bahkan ingin mengakuisisi Kanada agar minyak dari sana tidak terkena tarif impor. Ia juga sempat membidik Greenland milik Denmark demi akses terhadap sumber daya strategis, termasuk logam tanah jarang.

Di Timur Tengah, hasrat energi Trump menubruk langsung ke Palestina. Ia mendukung penuh tindakan Israel yang menghancurkan dua pertiga infrastruktur sipil Gaza dan membunuh hingga 10 persen populasinya, hanya demi satu tujuan: mengosongkan wilayah tersebut. Trump kini mendorong Mesir dan Yordania agar menerima hampir dua juta pengungsi Palestina, yang menurutnya merupakan solusi permanen atas “masalah Gaza”. Ia tidak berbicara tentang rekonstruksi, perdamaian, atau dua negara. Ia bicara soal pengosongan wilayah untuk akses minyak dan gas.

Cadangan energi di perairan Gaza bukan sekadar potensi, tapi realitas yang diperkirakan mencapai 122 triliun kaki kubik gas dan 1,7 miliar barel minyak, dengan nilai mencapai 522 miliar dolar AS. Inilah kekayaan yang selama puluhan tahun dilarang diakses oleh rakyat Palestina. Dalam skema Trump, akses ini akan dimiliki oleh konsorsium antara Israel, Amerika, dan negara-negara Arab kaya minyak yang sebelumnya dipaksa menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accord.

Trump berusaha melanjutkan strategi itu dengan lebih kasar. Ia bukan hanya ingin mengontrol sumber daya, tapi juga menghilangkan Palestina dari peta. Dukungan total terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan sampai pada titik mendukung peta baru yang tidak menyertakan Palestina sama sekali. Dalam bayangan mereka, wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania sepenuhnya menjadi wilayah Eretz-Israel versi Perjanjian Lama. Palestina, menurut mereka, sudah tidak relevan.

Namun perlawanan tidak mati. Dalam berbagai tayangan televisi internasional, terlihat warga Palestina kembali ke reruntuhan rumah mereka dengan semangat yang membara. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk bertahan sebagai bangsa. Mereka menolak diusir dan terus menyuarakan bahwa minyak dan gas Palestina tidak akan disentuh siapa pun sebelum tanah mereka dibebaskan. Ini bukan sekadar perlawanan bersenjata, tapi perlawanan hak atas sumber daya.

Kenyataan ini menciptakan dilema besar bagi Amerika. Dalam artikel Richard Wolff, ia menyebut bahwa semakin banyak warga dan elite AS mulai sadar bahwa hubungan erat dengan Israel justru menyeret Amerika ke jurang isolasi global. Dukungan senjata dan dana terhadap Israel membuat Amerika dianggap ikut terlibat dalam genosida. Dan ketika biaya sosial dan geopolitik mulai melampaui manfaat ekonomi, retaknya fondasi aliansi menjadi keniscayaan.

Trump sendiri tidak peduli terhadap semua itu. Ia melanjutkan kebijakan pemotongan dana sosial dalam negeri untuk membiayai potongan pajak bagi konglomerat dan memperluas investasi luar negeri. Ia mendorong Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak demi menurunkan harga global, sekaligus meminta mereka menanamkan investasi hingga triliunan dolar ke dalam perekonomian AS. Dengan itu, ia berharap menutup lubang fiskal dan menciptakan lapangan kerja—meski dengan harga kehancuran Timur Tengah.

Bagi rakyat Palestina, semua ini bukan lagi permainan politik tingkat tinggi. Ini adalah kenyataan pahit bahwa nasib mereka ditentukan oleh hasrat energi dan kekuasaan asing. Mereka melihat bahwa keinginan untuk menghapus Palestina dari peta lebih besar dari upaya perdamaian. Bukan hanya karena fanatisme Zionis, tapi karena adanya kepentingan ekonomi yang mendalam.

Di Tepi Barat, Israel membuka front baru dengan operasi militer besar di Jenin. Sementara di Gaza, perang belum benar-benar usai meski gencatan senjata diumumkan. Dukungan Trump terhadap Israel membuat semua mekanisme internasional lumpuh. Dewan Keamanan PBB tak mampu menekan Israel, dan negara-negara OIC terlihat tak berdaya, hanya mengutuk tanpa tindakan.

Dengan segala kekayaan energi yang mereka miliki, rakyat Palestina tetap hidup dalam gelap. Mereka tidak punya akses ke listrik, air bersih, atau bahan bakar, sementara cadangan kekayaan alam mereka diperebutkan oleh kekuatan besar. Ironi ini menunjukkan bahwa penjajahan modern bukan hanya soal tanah, tapi juga soal siapa yang berhak menguasai sumber daya.

Trump mungkin sedang membangun kembali Amerika dalam bayangannya sendiri—putih, kaya, dan eksploitatif—tetapi jejak kebijakannya meninggalkan luka dalam yang akan sulit disembuhkan. Dan ketika konflik ini terus bereskalasi, pertanyaannya bukan lagi apakah akan terjadi perang lebih luas, tetapi kapan. Palestina menjadi korban dari obsesi satu orang terhadap minyak dan supremasi.

Dunia sedang menyaksikan fase baru dari kolonialisme energi. Ketika ladang gas lebih penting dari nyawa manusia, maka batas antara kemajuan dan kebiadaban menjadi kabur. Dan ketika negara adidaya memilih diam atas genosida demi minyak, maka sejarah akan mencatat bukan hanya tragedi Palestina, tetapi juga kebangkrutan moral umat manusia.

Rakyat Palestina tidak pergi ke mana-mana. Mereka tetap di tanah mereka. Mereka tetap berdiri di atas puing-puing rumah, membawa pesan kepada dunia: bahwa minyak mereka bukan untuk dijual, tanah mereka bukan untuk dijajah, dan keberadaan mereka bukan untuk dihapus. Sementara dunia tidur, mereka tetap berjaga.

Sponsor

Get updates in your email box

Complete the form below, and we'll send you our recent update.

Deliver via FeedBurner