Advertise Here

Politik

Senin, 30 Juni 2025

Manuver Geopolitik SDF Suriah di Masa Transisi Picu Perdebatan

    18.09   No comments
Pasukan Demokratik Suriah (SDF) kembali menjadi sorotan utama di kancah geopolitik Timur Tengah, terutama setelah penolakan mereka secara kolektif untuk berpartisipasi dalam berbagai agenda hegemon di kawasan.

Langkah strategis ini bukan sekadar penolakan biasa, melainkan sebuah pesan tersirat yang kuat kepada Amerika Serikat, mitra utama mereka selama ini. Isyarat ini jelas: jika Washington tidak menunjukkan perhatian serius terhadap isu-isu yang mereka anggap krusial bagi kepentingan SDF, maka agenda geopolitik yang digariskan akan terhambat.

Penolakan SDF ini terjadi di tengah gejolak perbincangan mengenai pengaturan lapangan baru dan upaya intens untuk mendefinisikan ulang peta aliansi di Suriah yang terus bergejolak. Setiap langkah yang diambil oleh para aktor kunci di wilayah ini memiliki implikasi yang luas, mengubah dinamika konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Analisis mendalam terhadap situasi ini mengungkapkan bahwa penolakan SDF dapat diinterpretasikan sebagai taktik tekanan yang cerdik, bertujuan untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan dukungan yang selama ini mereka terima dari Amerika Serikat.

Dalam permainan catur politik yang kompleks ini, setiap gerakan diperhitungkan dengan cermat, dengan tujuan memaksimalkan posisi tawar.

Mengejutkan, di tengah ketegangan ini, muncul laporan mengenai pembentukan aliansi baru di wilayah timur laut Suriah. Aliansi ini, yang melibatkan SDF dan sisa-sisa rezim Bashar al-Assad, didukung oleh kekuatan eksternal seperti Iran dan, dalam beberapa kasus, bahkan Israel. 

Sebuah ironi yang menarik mengingat sejarah permusuhan antara beberapa entitas ini.

Dalam konteks aliansi yang tidak biasa ini, ISIS, kelompok yang seharusnya menjadi musuh bersama, justru dianggap sebagai alat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan aliansi baru ini. Ini menunjukkan betapa pragmatisnya politik di wilayah tersebut, di mana musuh kemarin bisa menjadi sekutu hari ini demi kepentingan strategis.

Di sisi lain, perwakilan khusus Amerika Serikat untuk Suriah telah secara terbuka membahas kemungkinan penggabungan SDF ke dalam struktur pemerintahan Suriah yang baru. Wacana ini menimbulkan pertanyaan besar, khususnya oleh sebagian elemen, mengenai masa depan SDF sebagai entitas independen dan implikasi bagi stabilitas regional.

Sejalan dengan wacana tersebut, Amerika Serikat telah menunjukkan tanda-tanda penarikan dukungan, dengan menarik pasukannya dan mengosongkan beberapa pangkalan di wilayah yang dikuasai oleh SDF. Langkah ini secara jelas mengindikasikan pergeseran dalam strategi Washington dan potensi implikasi serius bagi SDF.

Lebih lanjut, Amerika Serikat juga telah mengklasifikasikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan semua pihak yang terkait dengannya di Suriah sebagai kelompok teroris. Keputusan ini menambah lapisan kompleksitas pada hubungan antara AS dan SDF, mengingat dugaan hubungan antara SDF dan PKK.

Pembicaraan juga telah meluas hingga menyentuh perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Donald Trump mengenai sanksi terhadap Suriah.

Keputusan-keputusan politik semacam ini, meskipun terkadang terlihat terpisah, sebenarnya saling terkait dan membentuk lanskap politik yang rumit di Suriah.

Pasca pembebasan Suriah dari cengkeraman rezim Assad dan pembentukan negara Suriah baru, terdapat dua jalur utama yang dibahas oleh para analis. Jalur strategis melihat Amerika Serikat membangun aliansi di wilayah tersebut dengan Suriah sebagai bagian integralnya, menciptakan stabilitas jangka panjang.

Namun, ada juga jalur taktis yang lebih pragmatis, di mana kantong-kantong ketidakstabilan di Suriah dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi politik yang lebih luas.

Pendekatan ini mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, namun berisiko memicu konflik lebih lanjut.

Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, Rusia, salah satu pemain kunci di Suriah, juga mencoba memanfaatkan situasi ini.

Setelah mengalami kemunduran di negara tersebut, Moskow berharap dapat menciptakan ketidakstabilan sebagai cara untuk menegaskan kembali pengaruhnya.

Salah satu yang kelihatan belakangan adalah penyerahan penguasaan Bandara Qamishli di Hasakah ke tangan SDF bukan ke pemerintah Damaskus. Bandara ini sebelumnya dikuasai rejim Bashat Al Assad dan tentara Rusia.

Iran, kekuatan regional lainnya, juga memiliki agendanya sendiri. Teheran berharap dapat memanfaatkan SDF dan wilayah yang dikuasainya sebagai pintu gerbang untuk memasukkan kembali milisinya dan membentuk aliansi milisi baru yang akan memperkuat kehadirannya di Suriah.

Namun, serangan baru-baru ini yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap Iran telah melemahkan kemampuan Teheran untuk memindahkan konfliknya ke luar wilayahnya sendiri. Ini mungkin menjadi faktor penting yang mengubah perhitungan strategis Iran di Suriah.

Masa depan SDF, sebagai entitas militer dan politik, akan sangat bergantung pada strategi yang akan diadopsi oleh Amerika Serikat di wilayah tersebut. Tanpa dukungan Washington yang berkelanjutan, kelangsungan hidup SDF akan berada dalam posisi yang sangat rentan.

Jika SDF pada akhirnya menolak untuk mematuhi kesepakatan yang dicapai dengan Damaskus, maka masalah ini kemungkinan besar akan diselesaikan melalui jalur militer. Dalam skenario ini, Suriah, berpotensi bekerja sama dengan Turki, dapat mengambil tindakan untuk menstabilkan wilayah tersebut.

Mengenai "sisa-sisa rezim yang bergabung dengan SDF," ini merujuk pada elemen-elemen dari angkatan bersenjata Suriah dan lembaga-lembaga keamanan yang dulunya setia kepada Bashar al-Assad, namun karena berbagai alasan – seperti pembelotan, kebutuhan akan dukungan militer, atau kesepakatan regional – kini beroperasi di bawah payung atau bekerja sama dengan Pasukan Demokratik Suriah.

Ini bisa mencakup unit-unit militer lokal, milisi pro-pemerintah tertentu, atau individu-individu yang sebelumnya bersekutu dengan Damaskus namun kini mencari perlindungan atau peluang baru di bawah kendali SDF.

Kondisi ini seringkali terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis atau strategis berdekatan, atau di mana ada kepentingan bersama untuk mengusir kelompok ekstremis seperti ISIS atau menjaga stabilitas dari ancaman pihak ketiga. Identitas spesifik dari "sisa-sisa rezim" ini seringkali kabur dan dinamis, mencerminkan aliansi yang cair di medan perang Suriah, di mana loyalitas bisa bergeser tergantung pada situasi dan keuntungan.

Kerja sama ini, meskipun mungkin terlihat kontradiktif mengingat asal-usul SDF sebagai oposisi terhadap rezim Assad, adalah cerminan dari realitas politik yang pragmatis di Suriah. Prioritas utama seringkali adalah menjaga stabilitas lokal dan menghadapi ancaman bersama, bahkan jika itu berarti bersekutu dengan mantan musuh.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa konflik Suriah jauh lebih kompleks daripada sekadar garis depan antara "rezim" dan "oposisi," melainkan melibatkan jaringan aliansi dan kepentingan yang saling terkait, yang terus berubah seiring dengan perkembangan situasi di lapangan.

Sabtu, 28 Juni 2025

Trump, Minyak, dan Palestina dalam Bahaya

    07.10   No comments
Antrean panjang pengungsi Palestina yang berusaha kembali ke rumah-rumah mereka di Gaza Utara memperlihatkan betapa dalam luka akibat agresi Israel. Namun bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tragedi itu bukanlah masalah kemanusiaan, melainkan peluang bisnis. Dalam narasi penuh minyak, gas, dan ambisi supremasi industri, Trump menjadikan Palestina bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi yang menakutkan. Kekayaan alam di Gaza, terutama cadangan minyak dan gas lepas pantainya, menjadi sasaran utama dari strategi Trump untuk menjadikan Amerika kembali sebagai raksasa industri energi.

Trump tidak pernah menyembunyikan obsesinya terhadap energi fosil. Sejak pidato pelantikannya, ia menyatakan Amerika akan memanfaatkan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur. Namun ambisinya tidak berhenti di dalam negeri. Ia membuka wilayah Alaska untuk pengeboran dan bahkan ingin mengakuisisi Kanada agar minyak dari sana tidak terkena tarif impor. Ia juga sempat membidik Greenland milik Denmark demi akses terhadap sumber daya strategis, termasuk logam tanah jarang.

Di Timur Tengah, hasrat energi Trump menubruk langsung ke Palestina. Ia mendukung penuh tindakan Israel yang menghancurkan dua pertiga infrastruktur sipil Gaza dan membunuh hingga 10 persen populasinya, hanya demi satu tujuan: mengosongkan wilayah tersebut. Trump kini mendorong Mesir dan Yordania agar menerima hampir dua juta pengungsi Palestina, yang menurutnya merupakan solusi permanen atas “masalah Gaza”. Ia tidak berbicara tentang rekonstruksi, perdamaian, atau dua negara. Ia bicara soal pengosongan wilayah untuk akses minyak dan gas.

Cadangan energi di perairan Gaza bukan sekadar potensi, tapi realitas yang diperkirakan mencapai 122 triliun kaki kubik gas dan 1,7 miliar barel minyak, dengan nilai mencapai 522 miliar dolar AS. Inilah kekayaan yang selama puluhan tahun dilarang diakses oleh rakyat Palestina. Dalam skema Trump, akses ini akan dimiliki oleh konsorsium antara Israel, Amerika, dan negara-negara Arab kaya minyak yang sebelumnya dipaksa menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accord.

Trump berusaha melanjutkan strategi itu dengan lebih kasar. Ia bukan hanya ingin mengontrol sumber daya, tapi juga menghilangkan Palestina dari peta. Dukungan total terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan sampai pada titik mendukung peta baru yang tidak menyertakan Palestina sama sekali. Dalam bayangan mereka, wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania sepenuhnya menjadi wilayah Eretz-Israel versi Perjanjian Lama. Palestina, menurut mereka, sudah tidak relevan.

Namun perlawanan tidak mati. Dalam berbagai tayangan televisi internasional, terlihat warga Palestina kembali ke reruntuhan rumah mereka dengan semangat yang membara. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk bertahan sebagai bangsa. Mereka menolak diusir dan terus menyuarakan bahwa minyak dan gas Palestina tidak akan disentuh siapa pun sebelum tanah mereka dibebaskan. Ini bukan sekadar perlawanan bersenjata, tapi perlawanan hak atas sumber daya.

Kenyataan ini menciptakan dilema besar bagi Amerika. Dalam artikel Richard Wolff, ia menyebut bahwa semakin banyak warga dan elite AS mulai sadar bahwa hubungan erat dengan Israel justru menyeret Amerika ke jurang isolasi global. Dukungan senjata dan dana terhadap Israel membuat Amerika dianggap ikut terlibat dalam genosida. Dan ketika biaya sosial dan geopolitik mulai melampaui manfaat ekonomi, retaknya fondasi aliansi menjadi keniscayaan.

Trump sendiri tidak peduli terhadap semua itu. Ia melanjutkan kebijakan pemotongan dana sosial dalam negeri untuk membiayai potongan pajak bagi konglomerat dan memperluas investasi luar negeri. Ia mendorong Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak demi menurunkan harga global, sekaligus meminta mereka menanamkan investasi hingga triliunan dolar ke dalam perekonomian AS. Dengan itu, ia berharap menutup lubang fiskal dan menciptakan lapangan kerja—meski dengan harga kehancuran Timur Tengah.

Bagi rakyat Palestina, semua ini bukan lagi permainan politik tingkat tinggi. Ini adalah kenyataan pahit bahwa nasib mereka ditentukan oleh hasrat energi dan kekuasaan asing. Mereka melihat bahwa keinginan untuk menghapus Palestina dari peta lebih besar dari upaya perdamaian. Bukan hanya karena fanatisme Zionis, tapi karena adanya kepentingan ekonomi yang mendalam.

Di Tepi Barat, Israel membuka front baru dengan operasi militer besar di Jenin. Sementara di Gaza, perang belum benar-benar usai meski gencatan senjata diumumkan. Dukungan Trump terhadap Israel membuat semua mekanisme internasional lumpuh. Dewan Keamanan PBB tak mampu menekan Israel, dan negara-negara OIC terlihat tak berdaya, hanya mengutuk tanpa tindakan.

Dengan segala kekayaan energi yang mereka miliki, rakyat Palestina tetap hidup dalam gelap. Mereka tidak punya akses ke listrik, air bersih, atau bahan bakar, sementara cadangan kekayaan alam mereka diperebutkan oleh kekuatan besar. Ironi ini menunjukkan bahwa penjajahan modern bukan hanya soal tanah, tapi juga soal siapa yang berhak menguasai sumber daya.

Trump mungkin sedang membangun kembali Amerika dalam bayangannya sendiri—putih, kaya, dan eksploitatif—tetapi jejak kebijakannya meninggalkan luka dalam yang akan sulit disembuhkan. Dan ketika konflik ini terus bereskalasi, pertanyaannya bukan lagi apakah akan terjadi perang lebih luas, tetapi kapan. Palestina menjadi korban dari obsesi satu orang terhadap minyak dan supremasi.

Dunia sedang menyaksikan fase baru dari kolonialisme energi. Ketika ladang gas lebih penting dari nyawa manusia, maka batas antara kemajuan dan kebiadaban menjadi kabur. Dan ketika negara adidaya memilih diam atas genosida demi minyak, maka sejarah akan mencatat bukan hanya tragedi Palestina, tetapi juga kebangkrutan moral umat manusia.

Rakyat Palestina tidak pergi ke mana-mana. Mereka tetap di tanah mereka. Mereka tetap berdiri di atas puing-puing rumah, membawa pesan kepada dunia: bahwa minyak mereka bukan untuk dijual, tanah mereka bukan untuk dijajah, dan keberadaan mereka bukan untuk dihapus. Sementara dunia tidur, mereka tetap berjaga.

Senin, 23 Juni 2025

Libya Minta Iran tak Ikutkan Qatar dalam Krisis Timur Tengah, Ditandatangani PM Osama Hammad

    14.35   No comments
Benghazi, Libya - Dalam sebuah perkembangan yang mengejutkan, Pemerintah Libya yang berpusat di Benghazi, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Osama Saad Hammad Saleh, telah mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam keras serangan rudal Iran terhadap Qatar. 

Pernyataan pers yang ditandatangani oleh PM Hammad Saleh ini menandai babak baru dalam dinamika politik Libya yang kompleks dan penuh gejolak. Keprihatinan yang diungkapkan atas agresi ini menyoroti pergeseran potensial dalam aliansi regional, mengingat sejarah hubungan yang pernah ada.

Pernyataan tersebut, bernomor 16 Tahun 2025, secara gamblang mengutuk "agresi terang-terangan" Iran dan menegaskan solidaritas penuh Libya dengan Qatar, menganggap serangan tersebut sebagai pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini sangat menarik mengingat bahwa di masa lalu, Iran diketahui mendukung faksi di Timur Libya, yang uniknya juga didukung AS, Rusia, UAE dan Israel sementara Qatar dan Turkiye memiliki kedekatan dengan pemerintahan di Tripoli, di wilayah Barat. Perubahan sikap ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai perubahan lanskap politik dan diplomatik di kawasan tersebut.

Posisi PM Osama Saad Hammad Saleh sebagai penandatangan pernyataan ini juga sangat signifikan. Ia adalah figur sentral dalam pemerintahan stabilitas nasional yang berbasis di Benghazi, sebuah entitas yang muncul di tengah perpecahan politik yang mendalam di Libya. Pemahaman tentang peran dan latar belakangnya sangat penting untuk memahami makna di balik pernyataan ini dan implikasinya terhadap dinamika konflik di Libya.

Pada Februari 2022, Dewan Perwakilan Rakyat menugaskan Fathi Bashagha untuk membentuk pemerintahan baru, menggantikan Pemerintahan Persatuan Nasional yang dipimpin oleh Abdul Hamid Dbeibeh. Meskipun Dbeibeh tetap berpegang teguh pada kekuasaan, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan kepercayaan kepada pemerintah Bashagha pada 1 Maret 2022. 

Dalam susunan pemerintahan baru tersebut, Osama Hammad menjabat sebagai Menteri Perencanaan dan Keuangan, sebuah posisi yang memberinya platform untuk menyuarakan pandangannya.

Mengingat konflik yang sedang berlangsung antara pemerintahan yang ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintahan Dbeibeh yang masih menjabat, Osama Hammad telah menjadi salah satu menteri terkemuka yang dengan gigih mempertahankan legitimasi pemerintahan baru. Ia dikenal sebagai kritikus vokal terhadap pemerintahan Dbeibeh, sering kali mengangkat isu-isu dugaan salah urus keuangan dan korupsi. Hammad secara terbuka telah mengajukan keluhan kepada jaksa agung Libya mengenai dugaan korupsi finansial dalam pemerintahan Dbeibeh.

Salah satu insiden yang paling disoroti oleh Hammad adalah dugaan penahanan dana anggaran oleh pemerintah di Tripoli yang seharusnya dialokasikan untuk anak-anak penderita kanker di Benghazi.

Menurut Hammad, penundaan alokasi dana tersebut mengakibatkan kematian sembilan anak akibat tertundanya pengobatan di Yordania. Insiden ini, jika benar, semakin memperkuat citra Hammad sebagai pembela kepentingan rakyat dan kritikus tajam terhadap apa yang ia anggap sebagai kegagalan pemerintahan rival.

Di luar peran politiknya, Hammad juga terlibat langsung dalam upaya pembangunan kembali. Ia secara pribadi mengawasi rencana rekonstruksi kota Benghazi, sebuah kota yang hancur akibat perang yang dilancarkan oleh Tentara Nasional Libya dalam berbagai operasi militer sebeluknya. Pengalaman ini memberikan wawasan tentang kapasitasnya dalam mengelola proyek-proyek besar dan komitmennya terhadap pemulihan wilayah timur.

Pada 16 Mei 2023, Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk menugaskan Menteri Keuangan Osama Hammad untuk melaksanakan tugas perdana menteri, menggantikan Fathi Bashagha, setelah sekitar 15 bulan menjabat. Keputusan ini, menurut para analis, muncul setelah para deputi mengkritik kinerja Bashagha selama periode tersebut di berbagai bidang, termasuk janji-janji yang tidak terpenuhi dan proyek-proyek yang belum selesai. Penunjukan Hammad sebagai pelaksana tugas perdana menteri semakin mengukuhkan posisinya sebagai tokoh kunci dalam politik Libya.

Selama Badai Daniel, Osama Hammad memimpin respons di Libya timur melalui krisis tersebut. Kemampuannya dalam mengelola situasi darurat dan mengoordinasikan upaya penyelamatan dan bantuan pada masa krisis alam ini menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang signifikan di bawah tekanan.

Pengalaman ini kemungkinan besar juga menambah bobot pada suaranya dalam urusan domestik dan internasional.

Pergeseran dukungan dari Iran, jika ini adalah indikasi nyata dari perubahan kebijakan, akan memiliki implikasi yang luas bagi Libya. Sejak lama, Libya terpecah antara pemerintahan yang berbasis di Timur dan Barat, dengan dukungan eksternal yang terpecah belah. Jika Iran dulu condong ke arah pemerintahan Benghazi, hal ini dapat mengubah dinamika kekuatan dan potensi penyelesaian konflik internal. Ini juga menjadi tantangan bagi Iran dalam mencari sekutu baru di kawasan tersebut.

Pernyataan yang ditandatangani oleh PM Osama Hammad Saleh bukan hanya sekadar kecaman, tetapi juga panggilan untuk de-eskalasi dan dialog diplomatik. Seruan untuk "menghentikan eskalasi dan kembali ke cara diplomatik dan dialog" menunjukkan keinginan untuk mencegah peningkatan ketegangan lebih lanjut di kawasan, sekaligus menjaga keamanan dan stabilitas regional. Ini adalah sebuah isyarat yang, meskipun datang dari salah satu pihak yang berkonflik di Libya, menggarisbawahi pentingnya diplomasi dalam penyelesaian krisis regional.

Hubungan antara Iran dan Qatar juga menjadi fokus. Iran dan Qatar memiliki hubungan yang kompleks, seringkali berfluktuasi antara kerja sama dan ketegangan. Serangan rudal ini, meskipun diarahkan ke pangkalan militer AS, yang dikecam oleh Libya, mungkin menjadi indikasi keretakan atau dinamika baru dalam hubungan tersebut. 

Reaksi Libya, terutama dari pemerintahan Benghazi, bisa jadi merupakan upaya untuk memanfaatkan situasi ini guna memperkuat posisinya di mata negara-negara Teluk lainnya.

Di sisi lain, pernyataan ini juga dapat dilihat sebagai upaya pemerintahan Benghazi untuk mengukuhkan legitimasi dan pengakuannya di panggung internasional. Dengan mengambil sikap tegas terhadap agresi regional, pemerintahan PM Hammad Saleh mungkin berharap untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan dari komunitas internasional, terutama dari negara-negara yang peduli dengan stabilitas di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini adalah bagian dari strategi yang lebih besar untuk mengatasi isolasi politik yang mungkin mereka alami.

Secara keseluruhan, pernyataan dari Pemerintah Libya yang berpusat di Benghazi ini adalah sebuah peristiwa penting yang mengindikasikan adanya pergeseran dalam arsitektur politik Libya dan dinamika regional. Dengan Osama Saad Hammad Saleh di pucuk pimpinan, pemerintahan ini tidak hanya menyuarakan keprihatinan atas agresi regional tetapi juga secara implisit menegaskan perannya dalam isu-isu internasional. Ini menyoroti bahwa, meskipun Libya masih menghadapi tantangan domestik yang signifikan, para pemimpinnya berusaha untuk memposisikan negara mereka sebagai pemain yang relevan dalam masalah keamanan regional yang lebih luas.

Peran Hammad sebagai pelaksana tugas perdana menteri dan komitmennya terhadap rekonstruksi serta penanganan krisis juga menunjukkan bahwa ada upaya nyata untuk membangun kembali dan menstabilkan Libya timur. Upaya ini, jika berhasil, dapat memberikan legitimasi lebih lanjut kepada pemerintahannya dan memungkinkannya untuk memainkan peran yang lebih besar dalam penyelesaian konflik Libya secara keseluruhan. Hal ini juga memberikan harapan bagi masyarakat Libya yang mendambakan perdamaian dan stabilitas.

Masa depan Libya masih penuh ketidakpastian, namun pernyataan ini memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana para pemain kunci beradaptasi dengan perubahan lanskap geopolitik. Perubahan aliansi, kecaman terhadap agresi, dan seruan untuk dialog diplomatik semuanya menunjukkan bahwa ada pergeseran halus namun signifikan yang sedang terjadi. Bagaimana perkembangan ini akan memengaruhi penyelesaian konflik Libya dan stabilitas regional akan sangat bergantung pada bagaimana para aktor utama merespons pergeseran ini dan apakah ada kemauan politik untuk mencari solusi damai.

Sponsor

Get updates in your email box

Complete the form below, and we'll send you our recent update.

Deliver via FeedBurner