Manuver Geopolitik SDF Suriah di Masa Transisi Picu Perdebatan
18.09Pasukan Demokratik Suriah (SDF) kembali menjadi sorotan utama di kancah geopolitik Timur Tengah, terutama setelah penolakan mereka secara kolektif untuk berpartisipasi dalam berbagai agenda hegemon di kawasan.
Langkah strategis ini bukan sekadar penolakan biasa, melainkan sebuah pesan tersirat yang kuat kepada Amerika Serikat, mitra utama mereka selama ini. Isyarat ini jelas: jika Washington tidak menunjukkan perhatian serius terhadap isu-isu yang mereka anggap krusial bagi kepentingan SDF, maka agenda geopolitik yang digariskan akan terhambat.
Penolakan SDF ini terjadi di tengah gejolak perbincangan mengenai pengaturan lapangan baru dan upaya intens untuk mendefinisikan ulang peta aliansi di Suriah yang terus bergejolak. Setiap langkah yang diambil oleh para aktor kunci di wilayah ini memiliki implikasi yang luas, mengubah dinamika konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Analisis mendalam terhadap situasi ini mengungkapkan bahwa penolakan SDF dapat diinterpretasikan sebagai taktik tekanan yang cerdik, bertujuan untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan dukungan yang selama ini mereka terima dari Amerika Serikat.
Dalam permainan catur politik yang kompleks ini, setiap gerakan diperhitungkan dengan cermat, dengan tujuan memaksimalkan posisi tawar.
Mengejutkan, di tengah ketegangan ini, muncul laporan mengenai pembentukan aliansi baru di wilayah timur laut Suriah. Aliansi ini, yang melibatkan SDF dan sisa-sisa rezim Bashar al-Assad, didukung oleh kekuatan eksternal seperti Iran dan, dalam beberapa kasus, bahkan Israel.
Sebuah ironi yang menarik mengingat sejarah permusuhan antara beberapa entitas ini.
Dalam konteks aliansi yang tidak biasa ini, ISIS, kelompok yang seharusnya menjadi musuh bersama, justru dianggap sebagai alat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan aliansi baru ini. Ini menunjukkan betapa pragmatisnya politik di wilayah tersebut, di mana musuh kemarin bisa menjadi sekutu hari ini demi kepentingan strategis.
Di sisi lain, perwakilan khusus Amerika Serikat untuk Suriah telah secara terbuka membahas kemungkinan penggabungan SDF ke dalam struktur pemerintahan Suriah yang baru. Wacana ini menimbulkan pertanyaan besar, khususnya oleh sebagian elemen, mengenai masa depan SDF sebagai entitas independen dan implikasi bagi stabilitas regional.
Sejalan dengan wacana tersebut, Amerika Serikat telah menunjukkan tanda-tanda penarikan dukungan, dengan menarik pasukannya dan mengosongkan beberapa pangkalan di wilayah yang dikuasai oleh SDF. Langkah ini secara jelas mengindikasikan pergeseran dalam strategi Washington dan potensi implikasi serius bagi SDF.
Lebih lanjut, Amerika Serikat juga telah mengklasifikasikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan semua pihak yang terkait dengannya di Suriah sebagai kelompok teroris. Keputusan ini menambah lapisan kompleksitas pada hubungan antara AS dan SDF, mengingat dugaan hubungan antara SDF dan PKK.
Pembicaraan juga telah meluas hingga menyentuh perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Donald Trump mengenai sanksi terhadap Suriah.
Keputusan-keputusan politik semacam ini, meskipun terkadang terlihat terpisah, sebenarnya saling terkait dan membentuk lanskap politik yang rumit di Suriah.
Pasca pembebasan Suriah dari cengkeraman rezim Assad dan pembentukan negara Suriah baru, terdapat dua jalur utama yang dibahas oleh para analis. Jalur strategis melihat Amerika Serikat membangun aliansi di wilayah tersebut dengan Suriah sebagai bagian integralnya, menciptakan stabilitas jangka panjang.
Namun, ada juga jalur taktis yang lebih pragmatis, di mana kantong-kantong ketidakstabilan di Suriah dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi politik yang lebih luas.
Pendekatan ini mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, namun berisiko memicu konflik lebih lanjut.
Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, Rusia, salah satu pemain kunci di Suriah, juga mencoba memanfaatkan situasi ini.
Setelah mengalami kemunduran di negara tersebut, Moskow berharap dapat menciptakan ketidakstabilan sebagai cara untuk menegaskan kembali pengaruhnya.
Salah satu yang kelihatan belakangan adalah penyerahan penguasaan Bandara Qamishli di Hasakah ke tangan SDF bukan ke pemerintah Damaskus. Bandara ini sebelumnya dikuasai rejim Bashat Al Assad dan tentara Rusia.
Iran, kekuatan regional lainnya, juga memiliki agendanya sendiri. Teheran berharap dapat memanfaatkan SDF dan wilayah yang dikuasainya sebagai pintu gerbang untuk memasukkan kembali milisinya dan membentuk aliansi milisi baru yang akan memperkuat kehadirannya di Suriah.
Namun, serangan baru-baru ini yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap Iran telah melemahkan kemampuan Teheran untuk memindahkan konfliknya ke luar wilayahnya sendiri. Ini mungkin menjadi faktor penting yang mengubah perhitungan strategis Iran di Suriah.
Masa depan SDF, sebagai entitas militer dan politik, akan sangat bergantung pada strategi yang akan diadopsi oleh Amerika Serikat di wilayah tersebut. Tanpa dukungan Washington yang berkelanjutan, kelangsungan hidup SDF akan berada dalam posisi yang sangat rentan.
Jika SDF pada akhirnya menolak untuk mematuhi kesepakatan yang dicapai dengan Damaskus, maka masalah ini kemungkinan besar akan diselesaikan melalui jalur militer. Dalam skenario ini, Suriah, berpotensi bekerja sama dengan Turki, dapat mengambil tindakan untuk menstabilkan wilayah tersebut.
Mengenai "sisa-sisa rezim yang bergabung dengan SDF," ini merujuk pada elemen-elemen dari angkatan bersenjata Suriah dan lembaga-lembaga keamanan yang dulunya setia kepada Bashar al-Assad, namun karena berbagai alasan – seperti pembelotan, kebutuhan akan dukungan militer, atau kesepakatan regional – kini beroperasi di bawah payung atau bekerja sama dengan Pasukan Demokratik Suriah.
Ini bisa mencakup unit-unit militer lokal, milisi pro-pemerintah tertentu, atau individu-individu yang sebelumnya bersekutu dengan Damaskus namun kini mencari perlindungan atau peluang baru di bawah kendali SDF.
Kondisi ini seringkali terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis atau strategis berdekatan, atau di mana ada kepentingan bersama untuk mengusir kelompok ekstremis seperti ISIS atau menjaga stabilitas dari ancaman pihak ketiga. Identitas spesifik dari "sisa-sisa rezim" ini seringkali kabur dan dinamis, mencerminkan aliansi yang cair di medan perang Suriah, di mana loyalitas bisa bergeser tergantung pada situasi dan keuntungan.
Kerja sama ini, meskipun mungkin terlihat kontradiktif mengingat asal-usul SDF sebagai oposisi terhadap rezim Assad, adalah cerminan dari realitas politik yang pragmatis di Suriah. Prioritas utama seringkali adalah menjaga stabilitas lokal dan menghadapi ancaman bersama, bahkan jika itu berarti bersekutu dengan mantan musuh.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa konflik Suriah jauh lebih kompleks daripada sekadar garis depan antara "rezim" dan "oposisi," melainkan melibatkan jaringan aliansi dan kepentingan yang saling terkait, yang terus berubah seiring dengan perkembangan situasi di lapangan.